Thursday, August 7, 2008
Sertifikasi hutan adat, harapan baru bagi pengelolaan hutan lestari di Indonesia
Bogor, 7 Agustus 2008. Hari ini sebuah komunitas masyarakat adat di Kalimantan Barat menerima pengukuhan pengakuan atas upaya dan perjuangannya dalam mengelola hutan adat. Pengakuan itu diwujudkan dalam sebuah Sertifikat Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari yang diberikan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia. Penyerahan Sertifikat Ekolabel akan dilakukan dengan upacara adat yang dirangkaikan dengan Upacara Adat Gawai di Rumah Panjae Sungai Utik. Sebuah pengakuan yang membawa harapan baru bagi praktik pengelolaan hutan yang bijak, disela laju kehilangan hutan Indonesia yang semakin tak terbendung.
Masyarakat Iban Menua Sungai Utik merupakan bagian dari komunitas adat di Kalimantan Barat, tepatnya di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Wilayah hukum adat Iban Menua Sungai Utik seluas kurang lebih 9,5 ribu hektare merupakan hulu DAS Kapuas dan berbatasan langsung dengan daerah penyangga Taman Nasional Betung Kerihun di sebelah utara.
Seperti juga wilayah hutan lain di Indonesia, luas hutan di Kalimantan Barat semakin berkurang akibat tekanan dari praktik pengelolaan hutan yang eksploitatif sehingga terjadi perubahan fungsi hutan yang signifikan. Juru bicara Forest Watch Indonesia (FWI), Markus Ratriyono mengatakan, "Luas hutan alam yang bisa dikatakan berkondisi baik di Kalimantan Barat terus menyusut hingga 1,9 juta hektare sampai saat ini. "Kehilangan hutan alam banyak disumbang oleh praktik pengelolaan hutan yang mengabaikan prinsip kelestarian. Sayangnya, perusahaan-perusahaan tersebut justru memperoleh ijin konsesi yang sah dari pemerintah, baik itu konsesi HPH, HTI Perkebunan maupun Pertambangan. Dan ini menjadi ancaman keberadaan hutan alam yang berada di dalam wilayah adat" tambahnya.
Hasil pemantauan FWI, hingga saat ini masih terjadi tumpang tindih lahan antara wilayah adat Iban Menua Sungai Utik dengan kawasan hutan yang hak pengelolaannya diberikan pemerintah kepada perusahaan HPH sampai tahun 2038. Menanggapi kondisi ini, Markus menyatakan, "Pemerintah harus mulai melakukan kaji ulang atas seluruh ijin konsesi yang sudah maupun akan diberikan kepada perusahaan dan mengembalikan hak pengelolaan kepada komunitas adat yang terbukti melakukan pengelolaan hutan adatnya secara lestari."
Jauh sebelum masuknya perusahaan HPH hingga mendapatkan sertifikat ekolabel, masyarakat adat Iban Menua Sungai Utik telah melakukan pengelolaan hutan adatnya secara lestari berdasarkan hukum adat yang sudah berlaku ratusan tahun. "Tanah dan air tidak memiliki benih, sehingga kami harus jaga untuk generasi mendatang", kata Apai Janggut, Kepala Rumah Panjae Sungai Utik. "Sesudah hutan adat kami mendapatkan sertifikasi ekolabel, kami akan tetap mengelola hutan kami secara lestari, karena hutan merupakan kehidupan kami, dan biarlah masyarakat adat yang lain mengikuti langkah kami", Apai Janggut menambahkan.
FWI, sebagai lembaga independen pemantau hutan di Indonesia, menyambut baik pemberian sertifikat ekolabel ini kepada komunitas masyarakat adat. FWI memandang bahwa secara umum kriteria dan indikator penilaian (Aspek Ekologi, Sosial dan Produksi) atas pengelolaan hutan adat Iban Menua Sungai Utik memenuhi syarat ideal untuk memperoleh sertifikat ekolabel, meskipun secara bertahap masih harus dilakukan perbaikan kelembagaan dalam unit manajemennya.
Sertifikat Ekolabel bagi pengelolaan hutan oleh komunitas masyarakat adat merupakan upaya nyata di tingkat tapak untuk mempertahankan hutan alam yang tersisa. "Bagi FWI, pemberian sertifikat ini merupakan hal yang membanggakan dan harus dijadikan contoh solusi untuk mencegah berlanjutnya penghancuran hutan di Indonesia", imbuh Markus dengan yakin.
Catatan editor:
Informasi lebih lanjut
Markus Ratriyono:
HP: +62 816103468
email: anakperi@fwi.or.id
Sekretariat Forest Watch Indonesia:
Jalan Sempur Kaler No.26 Bogor,
Telp: +62 251 8323664,
Fax: +62 251 8317926,
email: fwibogor@fwi.or.id; fwi@indo.net.id
website http://www.fwi.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar